Pendidikan adalah satu aspek yang sangat penting dalam pembangunan manusia. Kemajuan dan kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh proses pendidikannya. Pendidikan sebagai suatu wadah pemberlakuan nilai dan budaya. Di dalam pendidikan terdapat proses pembentukan yang mendukung tumbuh kembang manusia mulai dari kecil sampai dewasa. Secara filosofis, makna tersebut harus terkandung dalam praktik pendidikan kita. Maka paradigma pembelajaran kita yang dulu hanya terfokus pada pembelajaran terminal harus bergeser ke paradigma pembelajaran sepanjang hayat, yang sebelumnya hanya berfokus pada penguasaan pengetahuan harus berubah menjadi pembelajaran yang bersifat holistik.
Tidak hanya berperan dalam pengembangan personal, pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan sosial. Melalui pendidikan, kita bisa menanamkan nilai dari suatu perdamaian, kebebasan dan keadilan. Ada kata nilai yang harus sama-sama kita ingat sebagai kunci dalam proses ini. Artinya, pembelajaran bukanlah media untuk transferisasi pengetahuan dari guru ke anak didik, tetapi lebih dari itu, bagaimana supaya siswa dapat mengaktualisasikan nilai-nilai eksistensinya sebagai manusia dan dapat melakukan penyesuaian diri yang siginifikan terhadap perkembangan zaman. Ini sesuai dengan makna pendidikan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Semua proses yang dilakukan dalam pendidikan tersebut bergantung pada elemen-elemen pendukungnya. Di antaranya ada pendidik sebagai pihak yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan peserta didik. Pendidik atau biasa yang disebut sebagai guru dapat melaksanakan itu semua secara profesional bila sudah memiliki kualifikasi minimum dan mempunyai kemampuan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Dan secara personal, seorang guru harus sehat, tidak hanya secara jasmaniah tetapi juga rohaniah. Sikap dan tingkah laku seorang guru sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan belajar. Karena anak didik tentunya juga akan menilai layakkah seseorang menjadi guru dari sikap dan tingkah lakunya.
Permasalahan yang sering dijumpai di lapangan adalah permasalahan yang berkenaan dengan masalah citra diri ini. Biasanya siswa tidak akan merespon nilai-nilai yang diberikan jika sang guru sebagai teladannya tidak menunjukkan pencitraan nilai-nilai yang diajarkan. Praktek-praktek kekerasan dan pelecehan dalam proses pembelajaran adalah aktivitas yang sangat mencoreng nama guru dan dunia pendidikan. Seharusnya yang seperti itu tidak boleh terjadi. Karena secara teori, seorang guru dalam pembelajaran tidak boleh melakukan destructive discipline, tetapi harus selalu melakukan reinforcement positif sebagai salah satu usaha memberi motivasi dan menumbuhkan minat belajar peserta didik.
Seorang guru dituntut untuk menguasai soft skill, di samping juga hard skill. Soft skill ini adalah kemampuan dari dalam diri guru, bagaimana secara positif dapat menarik perhatian peserta didik untuk dapat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar dengan maksimal dan menyenangkan. Jangan sampai timbul persepsi pada anak didik bahwa suasana belajar itu adalah suatu lingkungan yang menyiksa, membosankan, kurang merangsang, dan berlangsung secara monoton sehingga mereka belajar secara terpaksa dan kurang bergairah. Para guru juga tidak boleh terjebak dalam kondisi suasana yang kurang menyenangkan dan rutinitas sehari-hari. Maka dengan demikian, perlu ada perubahan paradigma pembelajaran yang konvensional ini pada pola pikir guru.
Dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, disebutkan pada pasal 3 bahwa seorang guru harus mempunyai kompetensi yang secara holistik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogik secara aktual misalnya mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, yang dapat menggairahkan dan memotivasi belajar peserta didik; menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan; mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
Kompetensi kepribadian dan sosial secara deskriptif akan ditampilkan pada sosok seorang guru yang mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi. Selain itu juga mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
Kompetensi profesional dikatakan ada pada seorang guru bila ia bisa menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang menyenangkan; tidak mendominasi pembelajaran, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar; tidak terjebak dalam rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memberdayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya dan kegiatan sejenisnya; dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini. Kompetensi-kompetensi inilah yang menentukan apakah seorang guru dikatakan qualified atau layak sebagai seorang pendidik.
Menurut data Balitbang Depdiknas (2003), ternyata masih banyak guru yang tidak layak mengajar. Pada jenjang sekolah dasar ada sebanyak 49,3 persen (609.217 orang) diklasifikasikan ke dalam guru tidak layak mengajar, pada jenjang sekolah menengah pertama ada sebanyak 35,9 persen (167.643 orang) guru tidak layak mengajar, pada jenjang sekolah menengah atas ada sebanyak 32,9 persen (75.684 orang) guru tidak layak mengajar, dan pada jenjang sekolah menengah kejuruan ada sebanyak 43,3 persen (63.961 orang) guru yang juga tidak layak mengajar. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi keberlangsungan proses pendidikan di Indonesia. Karena lebih dari sepertiga jumlah seluruh guru di Indonesia yang tidak mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Efeknya pasti akan langsung tampak pada out put pembelajaran, yaitu peserta didik. Mereka kurang cakap dalam mengaktualisasikan diri di tengah-tengah masyarakat.
Proses sertifikasi yang dilakukan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran ataupun sebagai usaha dalam peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keniscayaan masa depan pendidikan, jika saja dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel. Proses tersebut harus mengacu kepada proses perolehan sertifikat guru yang tidak diskriminatif dan memenuhi standar pendidikan nasional. Di samping itu juga memberikan peluang kepada guru untuk memperoleh akses informasi tentang pengelolaan pendidikan yang sebagai suatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasil sertifikasi. Semua proses itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, finansial dan akademik.
Akhirnya, merupakan harapan kita bersama bahwa guru-guru di Indonesia baik yang di pelosok maupun yang di kota merupakan sosok-sosok guru bangsa, yang mengabdikan sepenuh dirinya untuk masa depan generasi muda calon pemimpin bangsa. Tanpa ketulusan dan keikhlasan, mereka tidak akan bisa melakukan tugasnya yang mulia ini dengan maksimal. Namun semuanya itu dikembalikan lagi kepada para guru. Secara pribadi, mereka adalah manusia yang punya tanggung jawab mengukuhkan nilai-nilai sebagai bagian dari akulturasi budaya yang positif. Dan sebagai bagian dari masyarakat mereka juga harus melakukan kesepakatan-kesepakatan penetapan nilai bersama sebagai acuan yang normatif dalam berkehidupan.
Oleh: Puspita Sari, S.Pd